Memantaskan Diri

Di tulisan sebelumnya berisi tulisan tentang mimpi, cita cita, keinginan. Nah kali ini ane bahas tentang kontradiksinya.
Bahwa dibenarkan untuk bermimpi, apa saja, karena mimpi itu naluri. Bahwa dibenarkan juga bermimpi tanpa batas, yang beresiko menyebabkan penyesalan dan kecewa jika terbukti itu cuma mimpi tanpa implementasi. Kenyataannya, proses mewujudkan mimpi itu relatif, kadang sulit, sering lebih susah. Kemampuan biasanya sangat mendukung, kemudian kesempatan, dan peluang, serta tekad. Nah seringkali yang menggagalkan malah sesuatu yang tak terduga. Sesuatu yang juga sering datang tiba-tiba, dan merusak sebagian besar tiang-tiang vital dari pondasi usaha.
Beberapa tiang pondasi utama untuk mewujudkan mimpi (menurut ane) adalah materi, waktu, dan kemampuan. Tiang ini biasanya terlihat jelas oleh diri sendiri, dikarenakan adanya wujud dan ciri yang jelas, detail, menjurus. Juga ada tambahan pilar penting lainnya, niat, tekad, dan keberuntungan. Tanpa niat itu mirip dengan seorang raja yang kekenyangan sedang melihat meja makan yang penuh makanan lezat. Tentu tidak akan pernah disentuh, selama perut masih kenyang. Tekad, semakin keras, semakin besar kemungkinan terwujud, bahkan tanpa pilar lain. Nah disinilah biasanya keberuntungan akan membantu, yang muncul ibarat tim sukses pemilu yang kejatuhan duit satu milyar untuk beroperasi. Keberuntungan tidak dapat dibeli, ditunggu, karena memang datangnya sangat mendadak.
Namun yang paling penting ketika sebuah mimpi tercapai, adalah kepantasan diri untuk duduk diatas mimpi yang terwujud, yang ketika dilihat dari jauh, bukan seperti heyna yang duduk diatas bangkai ular dan singa setelah menunggu mereka berperang dan mati.
Pantas itu bukan sebuah pertanyaan, sekaligus bukan sebuah jawaban. Pantas itu seperti melihat cermin, dan menemukan pandangan kedamaian.
Pantas?

Posted from WordPress for Android

Leave a comment