Salah Kamar

Sebuah desa, menggaris jatuh dari kaki bukit menuju bibir sungai. Sejuk, tentram, tak terusik lampu ajaib dari kota. Cuma ada lilin yang berpendar dari dalam rumah ketika malam dan pijaran api dipucuk bambu menyala disetiap pekarangan rumah, redup, tapi cukup memberi cahaya, tidak berlebihan. Penduduknya seratus persen non muslim, dan rombongan kami kebalikannya.

Saya tiba petang hari. Berangkat dari kota kecil yang jaraknya paling dekat, sekitar delapan sampai sembilan jam mengarungi sungai deras dengan motor kelotok jika cuaca normal dann ketinggian air cukup. Pernah suatu kali, saya diceritakan oleh motoris, si supir motor kelotok, ada rombongan yang pernah berangkat ke desa ini dengan menghabiskan waktu dua hari. Wah, saya cukup khawatir juga jadinya. Tapi dia melanjutkan, kejadian itu disebabkan karena rombongan itu terlalu sombong menantang alam, dengan mengabaikan saran dari ketua adat yang sebelumnya melarang mereka berangkat dihari itu. Bukan hari baik katanya. Nah, entah benar atau kebetulan, rombongan kami cukup direstui.
Malam hari sesuai dengan apa yang saya harapkan. Suasana yanh sangat desa istilahnya. Rombongan saya, beberapa istirahat, beberapa menyiapkan hal hal untuk besok, dan beberapa mencoba membaur dengan pemuda desa. Saya, duduk di ujung warung kopi, menghisap rokok untuk menghilangkan dingin yang menggigit kulit. Sambil mempelajari alur sosial warga, saya ngobrol ringan dengan pemilik warung. Yah, obrolan santai layaknya dua manusia yang baru ketemu. Nanya nama, udah nikah belom, tinggal dimana, dan banyak lain.
Pagi saya bangun, atau tepatnya bangun dengan kaget. Bagaimana tidak, didapur sedang ribut. Saya coba menelisik apa yang sebenarnya terjadi. Ketua rombongan kami marah marah sambil menunjuk makanan yang baru dihidangkan. Sebagai ketua rombongan, tentu Pak Im, begitu beliau disapa, bertanggung jawab dengan apapun termasuk asal makanan. Kami biasa melihan babi, tapi memakannya, tentu dilarang. Nah, ditengah keributan, Pak Im mengeluarkan pertanyaan agak kurang sopan, “siapa yang sembelih ini? Kemarin saya sudah pesan untuk menunggu saya kalau mau sembelih ayam untuk dimasak, biar kami juga bisa makan” katanya sambil menunjuk semur ayam yang sedang mengepul hangat dan siap dilahap. Sekonyong konyong, muncul seorang desa yang ternyata pemilik ayam dengan wajah pucat. “saya pak, saya yang sembelih, disuruh sama bapak kepala desa.” katanya setengah gemetar. Kemudian dia melanjutkan, dan sungguh kami tertawa atas jawaban polosnya.
“saya sembelih pake bismillah kok pak”

WordPress for Android

2 thoughts on “Salah Kamar

Leave a comment