Gerobak Ragi

Diselasar itu, saya membayangkan penjual ragi itu ada. Bukan apa apa, saya tiba tiba saja ingin melihat ragi. Untuk terakhir kalinya bisa jadi. Hari hari belakangan, saya memikirkan kematian, tanpa bisa memikirkan apa yang sudah saya dapatkan dari keduniaan saya. Tobat masbro, tobat,,,
Bukan kearah sana yang hendak saya tuju, makanya saya tolak mentah mentah, sebesar apapun uang rokoknya. Saya punya perasaan nggak enak, yang terlalu menjungkalkan insting rasional saya, dan perlahan jadi insting ragional. Ah ragi, saya kangen kamu…
Tapi toh, beberapa kali saya bertemu ragi, nggak saya apa-apain. Cuma dipandangi, diendus, untuk memastikan itu benar ragi, dan kemudian saya ajak bicara. Tentang film kesukaan kami, musik aneh yang berputar ditelinga kami secara kompak. Seperti musik itu menggema menyusuri rongga atap selasar tempat saya menunggu penjual ragi. Ya, sampai saya yakin penjual itu cuma bayangan, yang bayangannya sudah terlalu jauh masuk ke inti cerita rekayasa saya, membuat alur ceritanya sendiri, dan membentuk karakternya, tidak tiba tiba, karena saya sadar dia datang berurutan, tidak sengaja.
Sudah, penjual itu tidak datang sekarang, dan kalaupun dia datang, bukan diselasar ini. Selasar ini tempat kamu menunggu yang tercinta, yang ada di Bulan, yang berjanji akan turun disini. Ayo dong, rapuh sekali ingatanmu!

Posted from WordPress for Android

Redam

Saya gagal. Segagal gagalnya. Sehancur hancurnya. Serusak rusaknya. Sebuah banyangan utuh dan hampir berwarna sudah lepas tertiup angin badai puso. Kering, berhawa panas, tidak dapat dihindari.
Saya pikir, impian itu tidak dapat dikali lipatkan. Dibagi pun tidak, ditambah saja hampir mustahil. Hendak kemana kau ketika kakimu dipasung kenyataan pahit? Hendak kemana kau ketika tanganmu diikat kebenaran yang sejajar dengan kepahitan? Baku, dingin, kekal, dan mengurat.
Seharusnya, cukup satu jari saja yang mengacung, agar sisa jari tak terpotong ketika sengaja atau tidak tertuduh salah. Seharusnya, tidak sembarangan atap itu berdiri. Bukan dengan fondasi mimpi dan lantai imaji. BUKAN!
Tugas terakhir, nikmati saja semua bau busuk, nikmati, karena harusnya, kita terbiasa, kalau kita sadar siapa dan apa kita. Tidak bertanya tentang apa kepada siapa.

Posted from WordPress for Android

Hah?

Cukup singkat untuk diucap
Namun dalam jika diungkap!

Minggu ini luar biasa bagi ane, yang dengan segala keterbatasan dan kemampuan serta imajinasi, akhirnya terlibat secara paksa dalam sebuah kepanitiaan kejuaraan nasional. Portofolio, pengalaman. Cukup dua kata itu yang mendorong ane untuk mengabaikan kata kata paksa. Dan, mengingat keterbatasan waktu, tempat, koneksi, dan mimpi, serta kapabilitas gadget yang ane gunakan untuk menulis post ini, sebuah kata yang diikuti tanda baca sudah cukup.
Hah?

Pertanyaan Kotor

Sepenggal masa dalam ingatan,
Taman, hijau, tenang, bau rumput basah, deru jeram air.

Geliat manusia membangun cerita,
Adil, cemerlang, tak berharap menjadi buku atau riwayat.

Wajah polos tanpa gurat urat,
Mengeliat, mewujud, belajar, jatuh, bangun, sakit, sombong, tertawa, menangis, menyakiti, dikhianati.

Geram dalam gelung, ingin terus mencubit waktu
yang terlalu deras menyeret takdir, terlalu rakus memakan kebahagiaan, terlalu lama membelenggu pedih.

Memang dilarang menghampar ingatan,
Jika kemudian terus meratapi dan menyesali.

Ah, Wahai Adam, kenapa kau makan buah kuldi?

Masih Ingat?

Masih ingat aku?
coba aku bantu mengingatkan…
dulu, kita pernah satu kampus…
yang entah karena kebodohanku, aku dikeluarkan dari sana,
kebodohan yang lucu, yang bela bela tidak masuk kelas, hanya untuk menunggumu datang ke kampus,
menunggu di parkiran motor, hanya untuk memandang wajah ayumu…
Sudah ingat?
Continue reading