Gerobak Ragi

Diselasar itu, saya membayangkan penjual ragi itu ada. Bukan apa apa, saya tiba tiba saja ingin melihat ragi. Untuk terakhir kalinya bisa jadi. Hari hari belakangan, saya memikirkan kematian, tanpa bisa memikirkan apa yang sudah saya dapatkan dari keduniaan saya. Tobat masbro, tobat,,,
Bukan kearah sana yang hendak saya tuju, makanya saya tolak mentah mentah, sebesar apapun uang rokoknya. Saya punya perasaan nggak enak, yang terlalu menjungkalkan insting rasional saya, dan perlahan jadi insting ragional. Ah ragi, saya kangen kamu…
Tapi toh, beberapa kali saya bertemu ragi, nggak saya apa-apain. Cuma dipandangi, diendus, untuk memastikan itu benar ragi, dan kemudian saya ajak bicara. Tentang film kesukaan kami, musik aneh yang berputar ditelinga kami secara kompak. Seperti musik itu menggema menyusuri rongga atap selasar tempat saya menunggu penjual ragi. Ya, sampai saya yakin penjual itu cuma bayangan, yang bayangannya sudah terlalu jauh masuk ke inti cerita rekayasa saya, membuat alur ceritanya sendiri, dan membentuk karakternya, tidak tiba tiba, karena saya sadar dia datang berurutan, tidak sengaja.
Sudah, penjual itu tidak datang sekarang, dan kalaupun dia datang, bukan diselasar ini. Selasar ini tempat kamu menunggu yang tercinta, yang ada di Bulan, yang berjanji akan turun disini. Ayo dong, rapuh sekali ingatanmu!

Posted from WordPress for Android