Redam

Saya gagal. Segagal gagalnya. Sehancur hancurnya. Serusak rusaknya. Sebuah banyangan utuh dan hampir berwarna sudah lepas tertiup angin badai puso. Kering, berhawa panas, tidak dapat dihindari.
Saya pikir, impian itu tidak dapat dikali lipatkan. Dibagi pun tidak, ditambah saja hampir mustahil. Hendak kemana kau ketika kakimu dipasung kenyataan pahit? Hendak kemana kau ketika tanganmu diikat kebenaran yang sejajar dengan kepahitan? Baku, dingin, kekal, dan mengurat.
Seharusnya, cukup satu jari saja yang mengacung, agar sisa jari tak terpotong ketika sengaja atau tidak tertuduh salah. Seharusnya, tidak sembarangan atap itu berdiri. Bukan dengan fondasi mimpi dan lantai imaji. BUKAN!
Tugas terakhir, nikmati saja semua bau busuk, nikmati, karena harusnya, kita terbiasa, kalau kita sadar siapa dan apa kita. Tidak bertanya tentang apa kepada siapa.

Posted from WordPress for Android

Tualang

Berhenti!
Kamu ndak bakal ngerti  kenapa saya pilih kamu. Bahkan  saya juga ndak ngerti kenapa.
Seperti Gandalf yang memilih Bilbo, Ia hanya merasa Bilbo memberi kekuatan dan keberanian tambahan untuknya. Itu saja. Saya punya perasaan yang mirip. Serupa malah.
Nah, yang saya khawatirkan, saya malah akan menjerumuskan kamu menuju kemunduran, terkungkung dalam lingkup tempurung, tempat tinggal saya ketika saya memilih kamu, bersikeras memiliki kamu. Pengap, kecil, namun tetap sebuah rumah bagi saya. Dan senyaman-nyamannya istana pemberian orang, saya masih mencintai tempurung yang sudah mendarah daging. Namun tidak halnya dengan kamu. Tempurung ini terlalu menyiksa. Ini yang bikin saya ragu, apakah kamu akan tumbuh menjadi lebih tinggi, atau malah sebaliknya, layu dan hancur.
Kekurangajaran Gandalf “menculik” Bilbo dari lubang hobbitnya itu berbuah dua sisi mata uang. Bilbo terhormat dimata kurcaci dan peri, namun buruk dimata rakyat Shire, tempat tinggal Hobbit.
Saya tidak mau itu terjadi pada kamu. Serius!

Posted from WordPress for Android